Walau belum
pernah menginjakkan kaki ke negeri samurai, informasi tentang kehidupan
masyarakat Jepang begitu menginspirasi saya. Penanaman kedisiplinan semenjak
anak-anak dalam kultur Jepang sudah sering kita dengar. Tak heran jika dunia
pendidikan di Jepang dijadikan jujugan
atau referensi negara-negara di dunia untuk menimba ilmu.
Go ni irebe go ni shitagae, ‘saat masuk
lingkungan baru taatilah budaya atau aturan setempat. Idiom ini mengingatkan
kita pada peribahasa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Sebagai
individu pendatang harusnya mampu beradaptasi dengan baik, dimana pun dia
berada baik dilingkungan tempat tinggal yang baru, di kantor yang baru, ataupun
sekolah yang baru. Realitanya tidak demikian adanya. Padahal jika dilihat dari
segi maknanya sama, namun dalam aplikasinya masyarakat Indonesia tidak semuanya
mempraktikkannya. Kenapa? Ternyata usut
punya usut, kata kuncinya pada go ni
shitagae, ‘disitu langit dijunjung’. Semangat warga Jepang untuk tidak
mengganggu kehidupan atau sistem yang telah tertata di tempatnya yang baru
sungguh luar biasa. Mereka sangat menghormati. Artinya, mereka akan mengubah
warnanya sesuai dengan tempatnya yang baru, bukan sebaliknya.Coba kita lihat saat mereka naik kereta api. Kita lebih sering mereka membaca buku ketimbang harus ngobrol dengan kanan-kirinya. Mereka tidak mau merugikan atau mengganggu orang lain. Oleh karena itu mereka memilih membaca.
Kultur warga
Jepang yang lainnya khususnya untuk para ibu, mereka cenderung bergerak dalam
kelompok yang sejenis. Maksudnya, mereka berkumpul dengan kelompok yang segi
ekonominya sama, memiliki gaya hidup yang sama, ataupun prinsip hidup yang
sama. Ikatan diantara mereka pun sangat kuat. Sehingga mereka tidak percaya
diri jika tidak bersama-sama dengan teman-teman satu kelompoknya. Mereka seakan
kehilangan sebagian dari dirinya dan tidak memiliki kekuatan.
Warga Jepang
sejak mereka bayi sudah diberi semangat yang luar biasa. Kata pasrah tidak
pernah ada dalam kamus kehidupan warga jepang. Pernah dengar kata
“gambaru/gambatte/gambarimasu?” kata-kata itu bagaikan bara api yang selalu
mengobarkan semangat warga Jepang. Kata-kata itulah yang diperkenalkan kepada
anak-anak Jepang agar mereka berjuang habis-habisan. Dalam kesehariannya pun,
warga Jepang tidak memanjakan anak-anak mereka.
Membiasakan anak-anak berjalan kaki, membawa sendiri barang-barangnya,
mengelap lantai sendiri saat dia menumpahkannya. Nah, ini yang tidak biasa pada
anak-anak di Indonesia.
Ketika
anak-anak Jepang bertengkar dengan temannya, orangtua justru menyalahkan
anaknya. Bukan malah membela atau melindunginya. Saat bermain tiba-tiba
temannya menginginkan mainan anaknya, sang orangtua justru menyuruh anak untuk
meminjamkan mainan itu kepada temannya. Anaknya diminta mengalah. Jika mamanya melarang
anaknya untuk meminjamkan mainan tersebut pada temannya maka orangtua akan
menerima sanksi dari masyarakatnya. Satu hal lagi, ketika sang anak melakukan
kesalahan kepada orang lain, maka yang meminta maaf tidak hanya sang anak saja,
tetapi orangtuanya pun harus meminya maaf kepada orangtua sang anak yang
disakitinya. WOW